Logistik Performance Index 2012
INTERNATIONAL SCORECARD
The international score uses six key
dimensions to benchmark countries' performance and also displays the derived
overall LPI index. The scorecard allows comparisons with the world (with the
option to display world's best performer) and with the region or income group
(with the option to display the region’s or income group's best performer) on
the six indicators and the overall LPI index.
The logistics performance (LPI) is the weighted average of the country
scores on the six key dimensions:
1) Efficiency of the clearance process
(i.e., speed, simplicity and predictability of formalities) by border control
agencies, including customs;
2) Quality of trade and transport related
infrastructure (e.g., ports, railroads, roads, information technology);
3) Ease of arranging competitively priced
shipments;
4) Competence and quality of logistics
services (e.g., transport operators, customs brokers);
5) Ability to track and trace
consignments;
6) Timeliness of shipments in reaching
destination within the scheduled or expected delivery time.
The scorecards demonstrates comparative performance of all countries
(world), regional and income groups.
ANALISA TAHUN 2012
Hasil penilaian Logistic Performance Index 2010
(tabel 3) , Indonesia mengalami penurunan peringkat dari peringkat ke 43 di
tahun 2007 menjadi peringkat 75 di tahun 2010. Bila dibandingkan dengan
kelompok negara berpendapatan rendah –sedang maka di tahun 2010 Indonesia
berada pada posisi 8 diatas Paraguay dan Syrian yang sebelumnya di tahun 2007
berada pada posisi ke 4. Negara yang mengalami perbaikan posisi adalah
Philipina yaitu dari posisi 6 menjadi 4. Seperti telah disampaikan diatas, bagi
industri permasalahan yang muncul terkait dengan logistik adalah biaya logistik
dan waktu kirim,
adapun
faktor-faktor lain penyebab tingginya biaya logistik antara lain
(i)
Teknologi informasi dan komunikasi yang
kurang mendukung dalam proses pemantauan arus barang antar wilayah yang
berpotensi meningkatnya biaya
(ii)
Sarana yang mahal dalam hal pengadaan
alat angkut truk dan kapal laut (pajak dan suku bunga tinggi),
(iii)
Regulasi logistik yang tidak terpadu;
tumpang tindih peraturan pusat –daerah, maraknya pungutan resmi di daerah,
(iv)
Kompetensi SDM logistik yang rendah
(v)
Armada yang tidak layak tetap
beroperasi.
Kinerja logistik nasional menurut laporan Logistics
Performance Index(LPI) 2010 belum mampu mengungguli negara-negara raksasa
ekonomi dunia yang baru BRICS ataupun beberapa negara di Asean. Indonesia hanya
unggul dengan negara Rusia. Indonesia jauh dibawah India , China, Brasil juga
dengan Singapura , Malaysia dan Philipina (Tabel 4). Keadaan ini penyebab
inefisiensi yang mendorong peningkatan biaya logistik. LPI mengukur kinerja
logistik nasional dari efisiensi proses di kepabeanan, kualitas infrastruktur,
biaya pengiriman yang kompetitif, kompetensi dan kualitas jasa logistik,
kemampuan melacak dan menelusuri dan waktu tempuh.
Kinerja
Logistik nasional
Dibandingkan dengan negara negara Asean, biaya penanganan kontainer di
Indonesia paling tinggi. Negara Indonesia
adalahnegarakepulauantetapisebagianbesarprasaranaberada di darat tidak
mendukung keterkaitan antar pulau hal ini menyebabkan biaya angkut antar
kota atau antar pulau di Indonesia juga jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan dari Singapura keberbagai tujuan didalam negeri.Untuk kontainer 20 kaki di pelabuhan Tanjung Priok
tarifnya USS95, sementara Malaysia hanya US$88, Thailand US$63, dan dibayarkan
dengan mata uang setempat, sementara di Indonesia harus dengan dollar AS
Biaya
angkut antarkota atau antar pulau di Indonesia juga jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan dari Singapura ke berbagai tujuan didalam negeri. Sebagai
contoh untuk rute yang sama, ongkos pengapalan kontainer dari Padang (Sumatera
barat) ke Jakarta mencapai US$600, sedangkan dari Singapura ke Jakarta hanya
US$185 (Kompas, 2010). Belum lagi setiap kapal yang melakukan bongkar muat di
pelabuhan harus mengalokasikan dananya Rp 150 juta per hari. Ini semua yang
menyebabkan performa logistik Indonesia semakin buruk.
Saat ini ongkos logistik di Indonesia berkisar
24%,bandingkan dengan Malaysia 15%, AmerikadanJepang 10%. 24% biaya logistik
samadenganRp 1820 triliun, yang terdiri dari Biaya penyimpanan Rp 546 triliun,
biaya transportasiRp 1092 triliun, biaya administrasiRp 182 triliun. Disamping
itu mutu pelayanan logistik yang buruk (Mis;Waktujedabarang-barang impor itu
bisa 5,5 hari, bandingkan dengan Amerika yang memiliki jeda waktu sekitar 1,2
hari, Rotterdam Belanda 1,1 hari, dan Singapura kurang dari 1 hari, biaya
angkut ).
Kondis iakses jalan menuju dan dari pelabuhan
Tanjung Priok selalu macet yang tidak pernah terselesaikan sehingga sangat
sulit bagi perusahaan angkutan barang untuk mengoptimalkanutilisasi /
perputaran kendaraannya, dimana rata ratautilisasi saat inihanya 0.7 trip per
hari untuk jarak 100 km pulang pergi atau hanya dapat 17-18 rit sebulan
bandingkan dengan sebelumnya bisa mencapai 25 trip /bulan. Biaya yang timbul di
terminal terminal lingkungan pelabuhan tanjung priok , biaya resmi saat ini
sangat mahal sekali dan meningkat secara progressive ( 200% – 500% kelipatannya
) belum lagi biaya tidak resmi yang harus dikeluarkan setiap proses muatbarang
/ kontainer.
Tabel 5 dibawah menunjukkan jarak, lead time dan
biaya yang dikeluarkan untuk ekspor ataupun impor dari titik asal (point of
origin) ke pelabuhan /airport tujuan (port or airport supply chain) atau dari
titik asal (point of origin) ke gudang pembeli (land supply chain) .
Dibandingkan dengan China, Singapura dan Malaysia, biaya ekspor di Indonesia
masih termahal khususnya untuk biaya transportasi darat, untuk biaya impor
Indonesia termahal untuk semua moda transportasi laut, udara dan darat.
Indonesia masih lebih baik dibandingkan Rusia dan Brazil untuk seluruh moda
transportasi.
Untuk kriteria lain yang ditunjukkan pada tabel 6,
Indonesia juga masih kalah dengan negara-negara China, Singapura dan Malaysia,
misalnya memenuhi kualitas pengiriman ataupun clearance time baik dengan
inspeksi maupun tanpa inspeksi, Indonesia tertinggal oleh negara-negara lain
kecuali Rusia.
Sistem
Logistik Nasional
Pemerintah pada tahun 2012 sudah memiliki cetak biru Sistem Logistik nasional
(Sislognas). Tujuan adanya cetak biru Sislognas pada intinya adalah peningkatan
kemampuan dan daya saing agar berhasil dalam persaingan global. Tetapi bila
ditelaah lebih jauh cetak biru Sislognas ternyata belum dapat menjawab
persoalan logistik nasional saat ini yang mendasar dan komplek, disamping itu
solusi yang ditawarkan pada cetak biru ini belum dapat menjelaskan hubungan
secara langsung dengan peningkatan daya saing khususnya untuk jenis-jenis
komoditas yang mana (perhatikan rencana aksi pada bab 5 yang tidak langsung
menjawab kondisi yang diharapkan pada bab 3 secara rinci) masih diperlukan
waktuuntuk menterjemahkannya di tingkat kementrian/lembaga juga pemerintah
daerah.
Beberapa catatan dari cetak biru Sislognas adalah:
1. Tidak tersedianya data terkini tentangkondisi riil seluruh infrastruktur dan
kebutuhannya sampai 10 tahun mendatang guna melihat kesenjangandiseluruh
wilayah terutama setelah dibukanya CAFTA 2010. Bila kesenjangan antara existing
condition dan kebutuhan yang secara langsung berdampak pada kinerja
logistikditunjukkan, akan memudahkan bagi lembaga/instansi baik pusat dan
daerah menterjemahkan cetak biru ini.Kesenjangan yang dimaksud antara lain
meliputi kapasitas, kondisi fasilitas,konektivitas, kualitas pelayanan
(SDM,waktu pelayanan, hambatan),volume keluar masuk barang, aksesibilitas dan
konektivitas. Maka perbaikan pada infrastruktur di suatu wilayah secara
langsung dapat diukur dampaknya apakah terhadap pengurangan biaya logitik ,
waktu kirim ataupun waktu pelayanan, yang secara agregat dapat berpengaruh
terhadap daya saing (perhatikan penilaian lembaga dunia tentang Logistics
Performance Index dan Competitiveness Index). Misalnya Angkutan cargo laut Indonesia
tidak cukup, apa yang akan dilakukan kedepan,pelayanan di kepabeanan atau
bagaimana dengan pelabuhan-pelabuhan, rel KA, jalan darat yang ada, apa yang
akan dilakukan untuk memperbaiki kinerja logistik secara agregat.
2. Tidak tampak aktivitas utama (Primary activities)
secara lengkap dari seluruh komoditas penggerak utama, juga belum disebutkan
secara tegas nama-nama komoditasnya, bagaimana pergerakannya selama ini, dimana
hambatan, apa yang menyebabkan hambatan tersebut, bagaimana posisi diantara pesaing
global, supply demand antar daerah/negara sehingga jelas strategi bersaing juga
supporting activities seperti apa yang dibutuhkan untuk mendukung aktivitas
utama. Seharusnya dari 6 penggerak utama , hanya butir 1 Komoditaspenggerak
utama yang merupakan faktor penggerak utama, sedangkan butir 2-6 adalah
penggerak pendukung yaitu Pelaku dan Penyedia Jasa Logistik;Infrastruktur
Transportasi;Teknologi Informasi dan Komunikasi;Manajemen Sumber Daya
Manusia;Regulasi dan Kebijakan. Ini sesuai dengan pendekatan Supply Chain
Management.
Logistik Performance Index 2014
INTERNATIONAL SCORECARD
The international score uses six key
dimensions to benchmark countries' performance and also displays the derived
overall LPI index. The scorecard allows comparisons with the world (with the
option to display world's best performer) and with the region or income group
(with the option to display the region’s or income group's best performer) on
the six indicators and the overall LPI index.
The logistics performance (LPI) is the weighted average of the country
scores on the six key dimensions:
1) Efficiency of the clearance process
(i.e., speed, simplicity and predictability of formalities) by border control
agencies, including customs;
2) Quality of trade and transport related
infrastructure (e.g., ports, railroads, roads, information technology);
3) Ease of arranging competitively priced
shipments;
4) Competence and quality of logistics
services (e.g., transport operators, customs brokers);
5) Ability to track and trace
consignments;
6) Timeliness of shipments in reaching
destination within the scheduled or expected delivery time.
The scorecards demonstrates comparative performance of all countries
(world), regional and income groups.
ANALISA TAHUN 2014
Dalam LPI edisi terakhir tahun 2014,
Indonesia menempati urutan ke 53 pada kinerja keseluruhan, di bawah Singapura,
Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Posisi ini sesungguhnya relatif membaik
dibandingkan tahun 2010 dan 2012 yang masing-masing menempati urutan ke 75 dan
59. Namun demikian, kinerja aspek infrastruktur relatif berfluktuasi walaupun
cenderung mengalami perbaikan dari tahun ke tahun, yaitu dari urutan ke 69 pada
tahun 2010 menjadi urutan 85 (2012) dan urutan 56 (2014). Secara absolut,
kondisi infrastruktur Indonesia sesungguhnya mengalami perbaikan yang cukup
signifikan pada tahun 2014 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dapat
dilihat dari nilai LPI sebesar 2,92 dibandingkan 2,54 pada tahun 2010 dan 2012,
dengan skala nilai tertinggi 4. Hal ini sesungguhnya menunjukkan perbaikan yang
cukup menggembirakan dalam penyediaan infrastruktur logistik di Indonesia
Permasalahan Inbound Logistics
Namun demikian, ada hal lain yang patut
dikhawatirkan dalam penyediaan infrastruktur logistik, khususnya apabila
pemerintah ingin mengembangkan infrastruktur yang langsung menyentuh hajat
hidup orang banyak. LPI sesungguhnya merupakan potret infrastruktur skala besar
dalam lingkup global. Infrastruktur tersebut berada pada bagian hilir proses
produksi dan pemasaran yang lazim disebut sebagai outbound
logistics. Sementara dalam tahap produksi lebih banyak berperan
infrastruktur lokal tempat bahan baku dan tenaga kerja berasal. Infrastruktur
ini lazim disebut sebagai inbound
logistics yang berperan dalam mendukung proses produksi.
Berdasarkan Data Potensi Desa BPS tahun
2014, kondisi infrastruktur logistik khususnya jalan pada tingkat perdesaan di
Indonesia sangat timpang dilihat dari jenis permukaan dan aksesibilitasnya. Di
Papua, sebanyak 69,2% desa memiliki permukaan jalan tanah dan lainnya,
sebaliknya di Jawa hampir 100% kondisi permukaan jalan sudah diaspal dan
diperkeras. Dari sisi aksesibilitasnya, sebanyak 60,5% desa di Papua tidak
dapat dijangkau dengan jalan darat sepanjang tahun, sementara di Jawa hampir
seluruhnya sudah mampu dijangkau. Wilayah lain di Indonesia mencerminkan
sebaran dari kedua kondisi ekstrem tersebut.
Apa Dampaknya?
Permasalahan infrastruktur jalan di
tingkat lokal ini sangat penting, karena merupakan faktor pembentuk harga
barang hasil produksi. Harga bahan baku yang tinggi karena susahnya akses dan
biaya tenaga kerja yang mahal akan berdampak pada harga barang yang lebih
tinggi dibandingkan wilayah produksi lain. Terlebih, buruknya infrastruktur ini
akan lebih banyak berdampak pada para pemodal kecil dan menengah yang merupakan
bagian terbesar dari aktifitas produktif masyarakat. Mengapa demikian, karena
pemodal besar biasanya membangun sendiri infrastruktur untuk menunjang produksi
sesuai dengan skala ekonomi yang dimiliki. Sementara para pemodal kecil dan
menengah mau tidak mau harus memanfaatkan infrastruktur yang ada sebagai
pilihan yang paling efisien.
Menengok nilai index daya saing global (global competitiveness index) yang
dikeluarkan oleh World Economic
Forum (WEF) tahun 2014 – 2015, Indonesia berada pada peringkat ke 34
diantara 144 negara dan termasuk kelompok negara-negara yang kinerja ekonominya
ditentukan oleh faktor efisiensi (efficiency driven). Namun demikian, prasyarat
dasar (basic requirement) dalam mencapai
daya saing yang tinggi, yang salah satu pilarnya adalah kondisi infrastruktur,
berada pada peringkat lebih rendah, yaitu 49. Hal ini menunjukkan bahwa
perbaikan infrastruktur dasar, salah satunya infrastruktur logistik memang
merupakan kunci untuk mendorong Indonesia lebih efisien dan mampu berdaya saing
dengan bangsa-bangsa lain di dunia
Logistik Performance Index 2016
INTERNATIONAL SCORECARD
The international score uses six key
dimensions to benchmark countries' performance and also displays the derived
overall LPI index. The scorecard allows comparisons with the world (with the
option to display world's best performer) and with the region or income group
(with the option to display the region’s or income group's best performer) on
the six indicators and the overall LPI index.
The logistics performance (LPI) is the weighted average of the country
scores on the six key dimensions:
1) Efficiency of the clearance process
(i.e., speed, simplicity and predictability of formalities) by border control
agencies, including customs;
2) Quality of trade and transport related
infrastructure (e.g., ports, railroads, roads, information technology);
3) Ease of arranging competitively priced
shipments;
4) Competence and quality of logistics
services (e.g., transport operators, customs brokers);
5) Ability to track and trace
consignments;
6) Timeliness of shipments in reaching
destination within the scheduled or expected delivery time.
The scorecards demonstrates comparative performance of all countries
(world), regional and income groups
ANALISA TAHUN 2016
Dalam Logistic
Performance Index, tahun 2016, khususnya dari sisi infrastruktur,
memperlihatkan Indonesia relatif tertinggal. peringkat Indonesia kembali berada
di bawah Malaysia dan Thailand. Satu peringkat di atas Vietnam. Dari beberapa
indikator yang digunakan dalam penilaian peringkat logistik seperti kepabeanan,
infrastruktur, pengapalan internasional, kualitas dan kompetensi logistik,
penelusuran dan waktu, ternyata indikator infrastruktur yang paling rendah.Menyadari hal ini, Pemerintah terus
berupaya membangun berbagai infrastruktur untuk mendukung baik langsung maupun
tidak langsung dalam pembangunan kawasan industri.Terkait dengan hasil survey World
Bank tentang Logistics Performance Index (LPI). Di komentari juga oleh Nyoman
Pujawan, Ph.D, CSCP, Professor of Supply Chain Engineering, ITS, Indonesia. Dia
melihat penilaian LPI didasarkan atas hasil survey terhadap pelaku ekspor
impor. Nilai dan ranking LPI juga menggambarkan daya saing logistik dari sisi
kegiatan perdagangan internasional yang melibatkan negara tersebut.
Hasil survey tahun 2016 untuk empat
negara di ASEAN adalah menempatkan Indonesia di urutan 63, satu tingkat di atas
Vietnam yang berada di urutan 64. Sedangkan Malaysia berada di urutan 32 dan
Thailand di urutan 45.Nyoman Pujawan, mengatakan, dari
sisi perdagangan internasional posisi Indonesia setara dengan Vietnam dan
berada cukup jauh di bawah Malaysia dan Thailand. Skor LPI didasarkan pada
aspek kelancaran kegiatan bea cukai (customs), infrastuktur, international
shipments, kompetensi logistik, kemampuan tracking dan tracing, serta kemampuan
menciptakan ketepatan waktu dalam pengiriman (timeliness).Dari keenam aspek tersebut
Indonesia terlihat paling jelek kinerjanya pada infrastruktur.
Di sisi lain yang juga cukup gencar
adalah pendidikan bidang logistik baik yang diselenggarakan oleh perguruan
tinggi maupun oleh asosiasi profesi yang menyelenggarakan berbagai pelatihan
untuk kompetensi logistik. Perkembangan penggunaan teknologi informasi di
berbagai sisi kegiatan logistik / supply chain akan meningkatkan kinerja
logistik kita di masa mendatang.
Malaysia dan Thailand sudah lebih
dulu melakukan pembangunan infrastruktur secara besar-besaran. Jalan tol jauh
lebih memadai di kedua negara tersebut. Saat ini Thailand juga sedang
gencar-gencarnya mengembangkan rel kereta api baik untuk penumpang maupun
barang.
Dengan negara yang besar dan
berbentuk kepulauan memang Indonesia menghadapi kendala yang lebih besar dalam
kegiatan logistik. Kegiatan logistik ini, agar lebih lancar di masa depan, juga
membutuhkan kebijakan pemerintah untuk melakukan pemerataan pusat-pusat
ekonomi. Dengan pengurangan konsentrasi penduduk dan ekonomi di Pulau Jawa
mestinya kegiatan logistik secara nasional bisa lebih lancar.
Tahun 2016 adalah tahun pertumbuhan ekonomi
nasional, dimana pemerintah terus berupaya untuk melakukan pembangunan
fundamental ekonomi nasional, melalui sektor riil diikuti dengan pembangunan
infrastruktur.
Pada kondisi saat ini, perkembangan perekonomian
dunia masih terus bergolak dan menuju titik kesetimbangan, sehingga berbagai
perubahan (sudden shift) masih akan dapat terjadi dalam berbagai sektor
ekonomi.
Selain itu, harga minyak mentah dunia masih terus
berfluktuasi dan pada tahun 2016 kemungkinan kenaikan harga minyak mentah
dunia, tentunya tidak dapat diabaikan, setelah di tahun 2015 menyentuh titik
terendah.
Pada tahun 2016 ini perkembangan nilai tukar rupiah
pun masih akan berada dirange Rp 13.500 – 13.900, khususnya di semester 1.
Mulai tanggal 01 Januari 2016, Indonesia sudah
memasuki Kawasan Masyarakat Ekonomi ASEAN, sehingga semakin besar tantangan
yang dihadapi oleh para penyedia logistik di Indonesia, oleh karena itu, para
penyedia jasa logistik tersebut harus bisa bersaing dengan para penyedia jasa
logistik dari luar negeri.
Dengan berbagai gambaran kondisi ekonomi nasional
dan global di tahun 2016, maka beberapa tantangan dan peluang industri logistik
nasional adalah:
-Walau ekonomi nasional di prediksi bertumbuh
sebesar 5,7%, akan tetapi sektor logistik tidak akan bertumbuh secara
signifikan, sebagai dampak dari pertumbuhan semu (fake growth) yang terjadi
selama 5 tahun terakhir. Hingga akhir tahun 2016, proses seleksi alam masih
akan terjadi industry logistik yang memaksa terjadinya perubahan dalam bisnis
proses beberapa perusahaan.
-Seiring dengan pembangunan infrastruktur, seperti
rel kereta pelabuhan, kereta badara, rel kereta trans sumatera, trans Sulawesi,
tol trans sumatera, Sulawesi, tol laut dan lainnya, maka perlahan namun pasti,
akan terjadi perubahan dalam penggunaan moda transportasi. Konsep multi moda
yang efisien dan efektif tentunya menjadi peluang dan tantangan yang harus
diperhitungkan.
-Pemberlakuan Kawasan Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA), akan menyebabkan terjadinya perubahan system manufaktur dan pola
distribusi barang yang akan terbagi tiga (3) pelaku utama yaitu: Principles, Manufacture danDistributor.
Pola makelon (outsourcing) dalam manufaktur barang di beberapa pulau untuk
memangkas ongkos logistik yang tinggi, merupakan salah satu solusi bagi
industri nasional di pulau Jawa dalam mengantisipasi kenaikan UMR. Disisi lain,
harga produk yang lebih kompetitif dari Negara tetangga (ASEAN), akan
menyebabkan meningkatnya barang impor khususnya barang konsumsi, akan
menyebabkan terjadinya perubahan system distribusi (termasuk pergudangan).
-Fokus pembangunan dan pengembangan industri
holtikultura dan perikanan khususnya, masih membuka peluang yang cukup besar
dalam rantai dingin (cold chain).
-Pembangunan infrastruktur yang secara
besar-besaran, membutuhkan bahan baku semen, pasir, besi baja, dll yang
jumlahnya sangat besar. Sehingga hal ini memberikan peluang bagi industri
logistik infrastruktur, seperti pengangkutan.
Tahun 2016 masih merupakan tahun yang penuh
tantangan bagi industri logistik Nasional. Kemampuan likuiditas perusahaan,
sangat menentukan keberlangsungan perusahaan, sehingga peningkatan efisiensi
dan produktivitas termasuk rasionalisasi merupakan jalan yang masih harus
ditempuh. Disisi lain, pada tahun 2016, akan terjadi peningkatan distribusi
barang (bahan konstruksi pembangunan infrastruktur dan barang konsumsi dari
berbagai Negara ASEAN) yang cukup signifikan, sehingga Inovasi, Kolaborasi dan
Improvement dalam bisnis proses logistik harus segera dilakukan untuk
mengantisipasi perubahan yang terjadi pada tahun 2016, terutama jika target
pertumbuhan perusahaan di atas 4%. Tanpa inovasi dan kolaborasi, maka
organisasi perusahaan akan berjalan stagnan.
Logistik Performance Index 2018
INTERNATIONAL SCORECARD
The international score uses six key
dimensions to benchmark countries' performance and also displays the derived
overall LPI index. The scorecard allows comparisons with the world (with the
option to display world's best performer) and with the region or income group
(with the option to display the region’s or income group's best performer) on
the six indicators and the overall LPI index.
The logistics performance (LPI) is the weighted average of the country
scores on the six key dimensions:
1) Efficiency of the clearance process
(i.e., speed, simplicity and predictability of formalities) by border control
agencies, including customs;
2) Quality of trade and transport related
infrastructure (e.g., ports, railroads, roads, information technology);
3) Ease of arranging competitively priced
shipments;
4) Competence and quality of logistics
services (e.g., transport operators, customs brokers);
5) Ability to track and trace
consignments;
6) Timeliness of shipments in reaching
destination within the scheduled or expected delivery time.
The scorecards demonstrates comparative performance of all countries
(world), regional and income groups.
ANALISA TAHUN 2018
Pembangunan infrastruktur mendapatkan banyak
perhatian Pemerintahan Jokowi-JK. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2015-2019 telah ditetapkan sejumlah sasaran pembangunan
infrastruktur 2019, antara lain pengembangan jalan nasional sepanjang 45.592 km
(dari 38.570 km pada baseline tahun
2014), pembangunan jalan baru (kumulatif 5 tahun) sepanjang 2.650 km (dari
1.202 km), pengembangan jalan tol (kumulatif 5 tahun) sepanjang 1.000 km (dari
807 km), panjang jalur kereta api 8.692 km (dari 5.434 km), 450 pelabuhan (dari
278), dan 252 bandara (dari 237).
Supply Chain Indonesia (SCI) memberikan
apresiasi atas rencana dan keberhasilan Pemerintah Jokowi-JK merealisasikan
pembangunan infrastrukturnya.Hasil pengembangunan kondisi infrastruktur
Indonesia tercermin dari laporan “The Global Competitiveness Index (GCI)
2017-2018” yang disusun oleh World Economic Forum. Infrastruktur merupakan
salah satu pilar dari dua belas pilar yang dinilai.
Dari
hasil penilaian terhadap 137 ekonomi, infrastruktur Indonesia berada pada
peringkat 52 dengan nilai 4,5. Pada periode sebelumnya (2016-2017), Indonesia
pada peringkat 60 dengan nilai 3,8. Hal ini menunjukkan peningkatan
infrastruktur Indonesia sebesar 8 peringkat atau peningkatan nilai sebesar 0,7.
Percepatan Infrastruktur dan Pengembangan
Wilayah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Wahyu Utomo mengatakan,
membangun infrastruktur sama dengan membangun masa depan sebuah peradaban.
Melalui percepatan pembangunan infrastruktur secara lebih merata di seluruh
tanah air, diharapkan tercipta konektivitas yang kuat antar-wilayah.
"Namun, satu hal yang perlu dicatat adalah diperlukan waktu yang tidak
singkat untuk merasakan manisnya buah pembangunan infrastruktur, meskipun bukan
berarti tidak ada manfaat yang bisa dirasakan dalam waktu singkat,” ujar Wahyu
dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (27/10/2018).
Wahyu menerangkan, salah satu manfaat yang
sudah dapat dirasakan langsung adalah meningkatnya peringkat Indonesia pada
beberapa indikator ekonomi. “Reformasi kebijakan untuk mendorong percepatan
infrastruktur telah menaikkan peringkat daya saing, performa logistik dan angka
kemudahan berusaha,” kata Wahyu.
BPK soal Infrastruktur Mangkrak hingga
Pertumpahan Darah Industri Perbankan Menurut laporan World Bank Group 2018,
daya saing infrastruktur Indonesia berada pada peringkat ke-52 di tahun 2018,
membaik dibanding tahun 2010-2013 yang berkisar di peringkat 70-an. Kemudian
indeks performa logistik yang memperhitungkan aspek dukungan infrastruktur bagi
logistik juga meningkat dari kisaran 2,7 di 2010 menjadi kisaran 3,1 di tahun
2018. Pengerjaan Proyek Strategis Nasional (PSN) juga telah membuka lebar
lapangan pekerjaan.
Untuk menyelesaikan seluruh PSN, estimasi total
tenaga kerja yang dibutuhkan mencapai 394 ribu pekerja. Tenaga kerja yang
paling banyak dibutuhkan oleh proyek PSN adalah lulusan pendidikan vokasi dan
politeknik. Itu baru tenaga kerja langsung yang dibutuhkan, belum termasuk penyerapan
tenaga kerja tidak langsung yang menjadi multiplier effect proyek PSN.
Sementara untuk manfaat jangka panjang, berdasarkan kajian yang dilakukan Tusk
Advisory di tahun 2018, pembangunan infrastruktur khususnya pembangunan PSN
diprediksi dapat berdampak pada pertumbuhan
Pendapatan Domestik Bruto (PDB)
sebesar 7,2 persen pada tahun 2023 dan 9,3 persen pada 2030. " Pembangunan
infrastruktur diyakini dapat memberikan tambahan produktivitas yang secara
rata-rata per tahun lebih tinggi sebesar 5,63 persen dibandingkan dengan nilai
produktivitas pada kondisi business-as usual," ucap dia.
Sri Mulyani Minta Kemenhub Tak Andalkan APBN
untuk Bangun Infrastruktur Sejak Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang
PSN diterbitkan, KPPIP telah melakukan evaluasi rutin pada setiap tahunnya
terhadap keberlangsungan PSN. Dalam Perpres nomor 56 tahun 2018 disebutkan PSN
berjumlah 223 Proyek + 3 program. Keseluruhan proyek memiliki estimasi nilai
investasi sebesar Rp. 4.150 triliun. Secara akumulatif dalam kurun waktu 2016
sampai September 2018 sebanyak 33 PSN telah selesai.
Kesimpulan:
1. Rendahnya daya saing produk-produk Indonesia salah satunya adalah tingginya
biaya logistik dan lamanya waktu kirim. Hal tersebut merupakan permasalahan
yang dihadapi oleh industri atau dunia usaha di Indonesia.
2. Prasarana logistik ada yang masih konvensional (Jalan, pelabuhan, dan
hubungan antar moda) serta belum terbangunnya konektivitas antar satu lokasi
dengan lokasi lainnya.Mayoritas menggunakan angkutan darat yang lebih mahal
dari angkutan laut.
3. Faktor-faktor yang menyebabkan biaya logistik tinggi serta waktu kirim lama
disamping infrastruktur dan konektivitas antara lain:
(i) Teknologi informasi dan komunikasi yang kurang mendukung
dalam proses pemantauan arus barang antar wilayah ,
(ii) Sarana yang mahal dalam hal pengadaan alat angkut truk dan
kapal laut (pajak dan suku bunga tinggi),
(iii) Regulasi logistik yang tidak terpadu; tumpang tindih
peraturan pusat –daerah, maraknya pungutan resmi di daerah,
(iv) Kompetensi SDM logistik yang rendah, ,
(v) Banyaknya jumlah dokumen yang perlu dipersiapkan dan butuh
waktu pada NSW,
(vi) Armada yang tidak layak tetap beroperasi.
4. Cetak biru Sislognas ternyata belum dapat menjawab persoalan logistik
nasional yang mendasar dan komplek.Masih tataran konsep.
Rekomendasi:
1. Secara menyeluruh perlu pembenahan infrastruktur dan konektivitas (Physical
, Institutional dan people to people).
2. Diperlukan re-evaluasi untuk hal-hal yang selama ini menjadi beban biaya
logistik antara lain biaya antrian ke pelabuhan, biaya sewa gudang, rumitnya
perijinan, kepengurusan di pabean dll
3. Pengadaan sarana logistik yang sebanding dengan negara ASEAN lainnya (bea
masuk, pajak, dan suku bunga)
4. Penetapan leading sector logistik terpadu, agar tidak berjalan masing-masing
antara kebutuhan pelaku ekonomi dan infrastruktur yang dibangun
5. Pengembangan logistik pantai dan pelabuhan.
6. Penghilangan peraturan daerah yang meningkatkan ongkos logistik.
7. Standarisasi umur kendaraan, keamanan, dan keselamatan.
8. Standarisasi kompetensi SDM logistik.
9. Pada cetak biru Sislognas masih diperlukan dokumen pendukung untuk
menjabarkan secara lebih detail dan operasional dengan menggunakan data yang update
serta terkait dengan MP3EI .